cerpen

Separuh Jiwaku Kembali

Harum semerbak bunga-bunga yang bermekaran di taman depan kamarku membangunkanku dari mimpi, entah mimpi indah ataukah mimpi buruk, yang jelas aku sudah lupa dengan semua itu. Kulangkahkan kaki mendekati jendela, kusibakkan tirai yang menutupi kaca jendela dan dengan perlahan kubuka daun jendela. Kunikmati udara segar dan kuhirup serta wewangian yang berasal dari bunga-bunga di depan kamarku. Pandanganku berhenti pada sekelompok lily yang berada di sekitar bangku yang biasa aku tempati disaat senja hari. Beberapa detik kemudian, aku sudah berada di bangku itu. Aku berjongkok mendekati bunga itu. Kupegang satu tangkai lily, tak lama kemudian lily itu sudah berada di genggaman tanganku. Kucium mahkota bunga itu. Aku tersenyum mengingat kenangan beberapa tahun yang lalu. Lamunanku terbuyar sesaat ponselku berbuyi. Kubuka dan kemudian kulompati jendela kamarku itu.

*gubrakk*

Karena tergesa-gesa, kakiku tersangkut tirai jendela sesaat kemudian aku terjatuh tersungkur di lantai, lily yang aku pegang tadi terlepas dari genggamanku. Aku berdiri dengan lutut memerah. Kuambil ponselku yang tergeletak di tempat tidurku.
“Halo? Ini siapa ya?” tanyaku terhadap penelepon tanpa nama itu.
“…”
“Hallooo? Dari siapa dimana? Dan ada kepentingan apa anda menelepon saya?” tanyaku panjang lebar terhadap penelepon yang belum bicara satu kata pun.
“Aku Seraf.” Jawabnya singkat. Mulutku menganga membentuk huruf O, tidak percaya akan yang meneleponku itu.
“Aku.. aku cuma ingin tahu kabar kamu.” Sambungnya kemudian.
“Oh, kamu Seraf. Kabarku baik. Kamu sendiri?” ucapku diluar pikiran.
“Sekarang aku jauh lebih baik.” Ucapnya yang membuatku tersontak kaget.
“Kupikir aku putus hubungan sama kamu. Saat kuberanikan untuk meneleponmu, aku bersyukur karena kamu masih mengangkat teleponku ini.” ucapnya lagi.
“Untuk apa aku memusuhimu. Tak ada gunanya juga.” Jawabku.
“Jadi selama ini kamu tidak menganggapku sebagai musuh?” tanyanya.
“Ya begitulah.”
“Maafkan aku Shifani, aku sudah meninggalkanmu. Tapi, aku punya alasan untuk itu.” Ucap Seraf menyesal.
“Aku tahu itu.” Jawabku singkat.
“Hatimu sungguh mulia Fani, maafkanlah aku yang sudah membuatmu terluka.”
“Sudahlah, sudah kumaafkan sejak dulu.”
“Terima kasih Fani.”
“Maaf, aku harus mengakhiri telepon ini.” sambungku.

Entah kenapa dan ada apa, air mataku menetes begitu saja setelah kututup pembicaraan tadi. Perasaanku menjadi tidak karuan. Lily yang aku genggam sejak kubuka pembicaraan tadi, jatuh dengan bebas di kakiku. Aku tak kuat mendengar suaranya lagi. Aku tidak bisa lagi.

Kutenangkan pikiranku sejenak di bangku taman kota. Kupejamkan kedua mata ini. 1 menit 2 menit 5 menit 20 menit 30 menit lamanya bisa kurasakan aku tidak duduk sendirian. Ya, ada seseorang duduk tepat di sebelah kiriku. Enggan, aku buka mata ini. Tetapi rasa penasaran ini tidak dapat kucegah. Kubuka kedua mataku perlahan. Kutengokan kepalaku. Aku dapat menangkap sosok bayangan itu. Tetapi otakku merespon begitu lama, sehingga aku hanya bisa memandangi sosok itu, yang kutahu dia ikut memejamkan matanya. Aku beranjak dari bangku itu karena tidak mau mengganggunya, tetapi ada yang mencegahku. Ada yang menggenggam erat tanganku. Kuputar badanku, ada seseorang berdiri tepat di hadapanku saat ini. Kulihat wajahnya dengan sangat jelas. Aku mengingat-ingat wajah orang itu, sepertinya aku pernah mengenalnya, tetapi siapa dia? Orang itu juga memandangku dengan tatapan penuh harapan.
“Kamu siapa? Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya.” Tanyaku memberanikan diri.
“Ya, kita memang pernah bertemu, bahkan aku sempat dekat denganmu.” Jawabnya yang masih menggenggam tanganku.
“Suaranya, ya suaramu aku sangat mengenali suara itu.” Ucapku sambil terus berpikir.
“Apa kamu sudah lupa terhadapku Shifani?”
“Kau memanggilku, cara kau memanggilku, seperti dia. Ya, dia kenanganku beberapa tahun yang lalu.” Ucapku terhadapnya. Sungguh otakku begitu lambat meresponnya.
“Kau! Apakah kau DIA?” tanyaku sesaat kemudian setelah otakku dapat merespon suaranya.
“Kenapa kau hanya tersenyum? Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Apakah ada yang salah dariku?” tanyaku lagi.
“Tidak. Ya, kamu benar Shifani. Aku kenanganmu, aku yang dulu pernah meninggalkanmu. Maafkan aku Shifani.” Ucapnya memelukku.
“Seraf? Kamu Seraf kan?” Tanyaku yang masih tidak percaya.
“Ya Shifani. Aku Seraf.”
“Kenapa kamu bisa disini?” tanyaku lagi.
“Karena aku punya hati. Aku bisa merasakan kemana separuh jiwaku berada saat ini.” jawabnya melepaskan pelukannya dan tersenyum kepadaku.
“Apa maksud perkataanmu itu?” tanyaku.
“Kamulah separuh jiwaku yang menghilang dulu.” Ucap Seraf.
“Bukan aku yang menghilang, tapi kamu.” Balasku dengan tawa.
“Sudahlah. Yang pasti aku sangat merindukanmu.” Ucapnya memelukku lagi.
“Akupun juga. Jangan menghilang dariku lagi Seraf.” Ucapku melepas pelukannya.
“Apa itu artinya, kamu masih…” ucapnya terputus.
“Ya!” potongku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GEGURITAN

AMBALAN TRI BUANA TUNGGADEWI

EMOTIONAL ICON