AMBALAN TRI BUANA TUNGGADEWI
TRI BUANA TUNGGADEWI
Erika Dian Novita –
Gugus Depan 03.80
SMA NEGERI 4 PEKALONGAN
Tribhuwana
Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun
1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri
Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Nama asli
Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja.
Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki
adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak
tiri bernama Jayanagara. Pada masa
pemerintahan Jayanagara (1309-1328)
ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre
Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanagara merasa
takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal
tahun 1328, para ksatriya pun
berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara,
diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana
Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah
Nertaja. Hayam Wuruk kemudian
diangkat sebagai yuwaraja bergelar
Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana
naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329
menggantikan Jayanagara yang
meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal
dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita
tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah
putri bungsu Kertanagara, tapi
mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia
dapat mewarisi takhta Jayanagara yang
meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah
menjadi pendeta Buddha, sehingga
pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana
memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas
pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi
persaingan antara Gajah Mada dan Ra
Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka,
Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi
sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa
penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah
Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat
dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah
tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan
wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan
Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala
arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan
raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih
keturunan Melayu dikirim
untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja
(raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana
wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di
ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah
tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini
kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi ratu Majapahit.
Tribhuwana
Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang
tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang
beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya
adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak
diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya
memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah
Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton,
Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak
di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel
meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang
terletak di desa Japan.
B.
Nilai-nilai perjuangan yang dapat diambil
Cerita
tentang tokoh sejarah yang satu ini memang jarang sekali di ketahui oleh
khalayak. Masyarakat lebih mengenal kiprah Hayam Wuruk, Gajah Mada maupun pendiri
Majapahit sendiri di banding mengenal sepak terjang istri dari Bhre Tumapel
(Cakradara) ini. Padahal jika teliti mencerna sejarah, sejatinya peranan
Tribuana Tunggadewi dalam merintis Majapahit menuju masa keemasan sangatlah
besar.
Tribuana
Tunggadewi adalah sosok di balik kesuksesan Gajah Mada. Sejak menjadi anggota
bayangkara Majapahit, Tribuana sudah mengetahui kemampuan luar biasa yang di
miliki abdinya ini. Maka ketika Tribuana di angkat sebagai ratu di Kahuripan,
Gajah Mada di usulkan menjadi patih Kahuripan. Begitupun pasca meninggalnya
Jayanegara akibat penyakit misterius yang kemudian di gantikan posisinya oleh
Tribuana Tunggadewi, Gajah Madapun naik posisinya sebagai Mahapatih Majapahit.
Di
bidang politik, prestasi raja ketiga dengan julukan Tribuanatunggadewi
Maharajasa Jayawisnuwardhani ini sangatlah menarik. Dia otak di balik padamnya
pemberontakan Keta dan Sadeng. Bahkan dalam kasus Sadeng, raja perempuan
pertama Majapahit ini bertindak sebagai panglima perang. Tidak hanya di situ,
Tribuana juga terlibat sebagai pengarah di susunnya rencana besar yang di
galang Gajah Mada melalui apa yang di sebut sebagai Sumpah Palapa.
Di
bawah pemerintahan Tribuana, Majapahit sukses menakhlukkan Pejeng, Dalem
Bedahulu (kerajaan yang terletak di Pulau Bali) dan seluruh wilayah Bali. Tidak
cukup sampai di situ, Tribuana juga sukses menakhlukkan Kerajaan Melayu,
Sumatera.
Prestasi
moncer Bhre Kahuripan inilah yang kemudian di teruskan oleh putranya, Hayam
Wuruk. Setelah di gantikan oleh Hayam Wuruk, peranan Tribuana di bidang politik
tidak serta merta surut. Dia tetap menjadi pengarah cita-cita agung Majapahit.
Tugasnya adalah memberi masukan pada Hayam Wuruk dan seluruh nayakapraja
Majapahit dalam mengatur tata kelola pemerintahan.
C. Persetujuan Saya Pribadi Untuk
Meneladani Tri Buana Tungga Dewi
Secara
pribadi saya sangat setuju sekali untuk meneladani Tri Buana karena beliau ini
meskipun seorang wanita, namun mampu memimpin sebuah kerajaan besar di
Indonesia yaitu kerajaan Majapahit dan mampu mengangkat kerajaan Majapahit
untuk mencapai kejayaan, sudah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa Tri Buana
lah sosok di balik kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk atau
putra Tri Buana. Tri Buana juga seorang wanita panglima perang. Coba saja
bayangkan seorang wanita menjadi panglima perang, itu semua pasti membutuhkan
sesuatu yang luar biasa, selain untuk masalah derajat wanita pada zaman dahulu
(sebelum adanya emansipasi wanita) begitu diremehkan, juga masalah kemampuan
neliau sendiri dalam memimpin. Namun Ratu pertama Majapahit ini sudah dikatakan
mampu dan berjaya dalam memimpin segala sesuatunya di Majapahit. Buktinya sudah
dijelaskan pada poin sebelumnya. Statemen salah satu responden Team Polling
Gubrak (Tampoll Gubrak) yang mengatakan bahwa Jawa Timur adalah wilayah santri.
Dalam Islam, tidak selayaknya perempuan jadi pemimpin. Adalagi responden yang
dengan sangat percaya diri mengatakan bahwa Jawa Timur tidak akan maju kalau di
pimpin perempuan. Selain itu bertentangan dengan aturan agama, juga
bertentangan dengan kodrat wanita sebagai makhluk yang lemah. Pernyataan-pernyataan
ini tidak berdasar. Di samping NU sendiri pernah mengeluarkan fatwa kebolehan
wanita menjadi gubernur, Jawa Timur di masa silampun faktanya pernah memiliki
pemimpin perempuan. Bukan sekedar gubernur atau bupati. Tapi pucuk pimpinan
tertinggi. Dialah Tribuana Tunggadewi. Raja Majapahit ketiga.
Selain
karena sebab nilai-nilai perjuangan pada poin sebelumnya, yang membuat saya
setuju adalah karena Tri Buana ini sangat cerdas dalam urusan strategi.itu
terbukti oleh Beliau juga menjadi
teladan di Majapahit dan juga inspirasi bagi seluruh rakyatnya dan juga seluruh
keluarga kerajaan di Majapahit.
D. Perilaku Sebagai Anak Bangsa
Dalam Meneladani Perjuangan Beliau
Sudah
sepatutnya sebagai anak bangsa sendiri kita harus meneladani tokoh-tokoh yang
telah berjuang untuk keadaan Indonesia seperti sekarang ini yang sudah kita
rasakan. Selain untuk menghormati perjuangan beliau juga untuk pembentukan rasa
patriotisme dalam diri anak bangsa atau yang sering disebut karakter
kepribadian bangsa. Tentu saja kita dapat mengambil suri tauladan itu dari
sikap nasionalis dan patriotis para pendahulu kita yang telah melakukan
perjuangan negara. Misalnya saja perjuangan yang dapat diteladani dari tokoh
Tri Buana ini adalah kepemimpinannya di Majapahit, dia merupakan wanita pertama
yang menjadi pemimpin di Majapahit dan dia mampu membawa Majapahit dalam masa
kejayaan lewat kepemimpinan putranya yaitu Hayam Wuruk. Selain semua
nilai-nilai perjuangan yang telah dirintis oleh Tri Buana yang lainnya yang
dapat diteladani adalah kepintarannya dalam merumus stategi dan melakukan
beberapa perang yang dikatakan berhasil secara mulus untuk ukuran panglima
seorang perempuan.
Coba saja
kalau anak bangsa bisa merubah pandangan, keteladanan, sikap dan juga cara
pemikirannya sama seperti Tri Buana bisa dibayangkan (karena akan sangat sulit
untuk direalisasikan mengingat perjuangan dan kurangnya tindakan) Indonesia
pada masa sekarang dan kedepannya. Pasti
Indonesia juga akan mencapai masa kejayaan seperti yang dialami kerajaan
Majapahit pada wakti itu. Presiden Soekarno sendiri juga pernah mengatakan
dalam pidato “Jas Merah” nya yaitu “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” itu
menuntut agar setiap bangsa Indonesia untuk tidak takabur dan lupa kan
sejarahnya negeri ini berdiri.
Komentar
Posting Komentar